tiwinisacha. Powered by Blogger.
RSS

Cinta dan Kebahagiaan

Dada sesak oleh kumpulan suara dalam pikiranku yang berputar-putar saling menyalahkan, saling mencari alasan pembenaran, saling mencari arti kebahagiaan, saling menanti harapan dan membunuh harapan, bertengkar untuk mempertahankan sebuah karakter, sebuah kepribadian yang bahkan aku sendiripun tidak tahu bagaimana kepribadian yang sebenarnya.
Kepenatan menguasai seluruh ruang pikiran dan memadatkan hati dengan kegelisahan, perasaan bersalah, harapan-harapan yang indah dibayangkan namun dapat menghancurkan diri hanya dalam sekejap. Hati yang menjadi penuh keraguan tentang bagiamana dan seperti apa aku akan menjadi sesuatu.
Akal berusaha mengendalikan diri untuk membunuh seluruh harapan yang tergantung pada apapun di dunia ini, sebab logika sudah mengetahui bahwa harapan yang digantungkan pada sesuatu yang bisa binasa hanyalah sebuah penantian untuk menunggu talinya putus dan melihat diri hancur berkeping-keping, karena apapun yang ada akan tetap musnah dan kembali pada-Nya, hanya Dia lah, hanya Allah lah satu-satunya tempat bergantung yang tidak akan binasa.
Maka bukankah kebahagiaan yang hakiki dan abadi hanyalah kebahagiaan yang berdasarkan cinta pada-Nya? Namun sebagai manusia biasa, terkadang aku masih berharap mendapat kebahagiaan dari manusia lain, masih berharap “menemukan” kebahagiaan, mendapat sesuatu yang istimewa dari orang yang ku anggap istimewa, walaupun sebenarnya aku sudah tahu bahwa kebahagiaan itu bukan “dicari”, namun “diciptikan”… dan kesalahan akan definisi kebahagiaan itu sendirilah yang akhirnya bisa menghancurkan aku, aku atau siapapun juga di dunia ini, sebab hati pasti akan berakhir dengan kekecewaan…
Jika hati ini belum sepenuhnya mencintai-Mu, dan jika hati ini belum cukup kuat dalam mencintai-Mu, aku mohon jangan biarkan hati ini jatuh cinta pada siapapun… Aku mohon bantu aku untuk menyempurnakan cintaku pada-Mu, hingga akhirnya suatu saat aku akan mencintai jodoh pilihan-Mu… mencintainya sebagai bukti cintaku pada-Mu. Bukan mencintainya dalam “kebutaan cinta” yang seringkali terjadi… Bukan mencintainya dalam kebimbangan tentang apakah dia jodohku atau bukan… Bukan mencintainya ketika status masih mengambang dengan hati yang tidak bisa mengintip takdir pilihan-Mu…
Bukankah memang tidak ada cinta yang lebih indah selain cinta yang mengalir diatas takdir-Mu (setelah pernikahan)?