Aku mencoba berfikir realistis, tentang hukum takdir. Katanya, di dalam Islam… kematian, rezeki, dan jodoh, adalah takdir mutlak yang sudah dituliskan sejak pertama kali manusia terlahir di dunia ini? entahlah aku belum sepenuhnya paham tentang definisi takdir ini… Namun islam selalu benar bagiku. Maka jika jodohku sudah Allah tuliskan, salahkah aku yang belum siap untuk menikah ini justru sibuk memikirkan seseorang yang tidak bisa ku pastikan tentang apakah dia jodohku atau bukan?
Ya Allah, aku mencoba memahami bahwa jodoh adalah ketentuan-Mu… Namun seiring waktu berjalan, seiring pengalaman yang datang, seiring kejadian yang nampak… hatiku pun jatuh kepada seseorang, hatiku pun… akhirnya merasa ingin memiliki seseorang, ingin selalu bersama dengannya… Salahkah hati ini?
Aku berusaha memahami cinta dari sudut pandang remaja, sudut pandang islam, dari segi perkembangan zaman, dari segi anak-anak, dan dari sudut pandang rumah tangga. Mengapa semuanya berbeda?
Sebagai seorang remaja, aku pun jatuh hati, walau aku tahu rasa ini belum pantas ku miliki. Sebagai seorang remaja yang hidup di lingkungan bebas, yang melihat pasangan berpelukan di tempat umum adalah hal biasa, yang melihat kehamilan diluar pernikahan sudah tidak asing, yang dikelilingi oleh teman-teman dengan keromantisan hubungan mereka, aku pun… akhirnya memiliki sedikit keinginan untuk merasakan indahnya ‘cinta’ yang seringkali mereka banggakan.
Namun saat aku mencoba menyelami sudut pandang islam.. ada pembernotakan dari hatiku. Islam melarang berpacaran, dan dengan lingkungan hidupku ini, apakah mungkin? Pacaran adalah hal sangat biasa, bahkan bagi sebagian orang menjadi seperti kewajiban… Aku pun ingin walau aku belum berpacaran, sisi keremajaanku memberontak kesal karna aturan islam yang terlalu berlebihan bagiku pada awalnya. Tapi dibalik pemberontakan itu, aku menyadari sesuatu… perbedaan, bahwa yang memberontak adalah nafsuku, sementara suara hatiku, membenarkannya… suara hatiku hanya merasa kecewa karna ingin merasakan cinta namun sadar belum waktunya, namun nafsuku berontak karna ingin mengikuti perkembangan zaman…
Disaat sadar, aku mencoba sebisa mungkin menjaga diriku untuk tidak berpacaran, kenapa? pada umumnya pacaran akan menimbulkan kerinduan, kerinduan itu membuat masing-masing ingin bertemu… Terjadilah sebuah pertemuan. Saat seseorang yang disukai ada disamping kita, ingin rasanya berdekatan… ingin menunjukan kepada dunia bahwa dia adalah milik kita, hingga akhirnya saling menggenggam tangan… untuk menunjukan rasa saling cinta dan memiliki satu sama lain.
Bergandengan tangan lama-lama terasa kurang dekat dan kurang cukup, hati terasa ingin mendekap erat tubuhnya, hingga akhirnya berpelukan… Hari ke hari, berpelukan membuat nya ingin merasakan lebih, hingga akhirnya berciuman… hati masih merasa kurang cukup, merasa ada yang kurang lengkap, hingga akhirnya terjadilah hubungan intim… lalu apakah itu bisa disebut keinginan 'hati'? atau keinginan 'nafsu'? mungkin ini pikiran yang terlalu jauh namun bukankah segalanya bermula dari hal kecil dan sederhana? seperti sederhananya sebuah komitmen untuk mengikat hubungan pacaran...
Aku mulai mencoba memahami bahwa larangan islam tentang tidak diperbolehkannya lawan jenis saling bersentuhan adalah benar. Dulu aku beranggapan islam itu ‘lebay’, sebab perempuan dan laki-laki yang bukan mukhrim akan berdosa jika bersentuhan. Namun setelah ku pertimbangkan lagi, hal yang luar biasa terjadi dari hal biasa… Hal besar bermula dari hal kecil… Hubungan ''terlarang'' sebelum pernikahan pun juga bermula dari sentuhan sederhana… maka sejak saat itu, aku memahami betapa luar biasanya tujuan islam dalam setiap aturan yang diciptakannya.
Lagipula cinta yang selalu dibanggakan oleh remaja, itu sebenarnya cinta yang seperti apa? kerinduan kerinduan yang menyita waktu.. apakah semua ada artinya? Sebab dalam kenyataannya, aku melihat bahwa tidak semua rumah tangga akan seromantis masa pacarannya… Bahkan tidak sedikit yang bercerai atau selingkuh, padahal dulunya bilang berjuta cinta. Lalu apa artinya sebuah kenangan dan sebuah janji? Jika pada akhirnya, seorang ‘manusia’ mampu dengan mudah melupakan dan mengingkari…
Ada rumah tangga yang pernah mengatakan kepadaku bahwa ia bosan dengan pasangannya, hidup puluhan tahun dengan orang yang sama, sudah tidak ada lagi deg-degan seperti masa pacaran, tidak ada lagi kerinduan yang menggebu-gebu jika tidak bertemu… yang ada hanyalah, apakah uang cukup untuk makan esok hari? apakah anak sekolahnya benar? apakah rumah rapih dan bersih? apakah kebutuhan anak bisa tercukupi? apakah keinginan shopping nya dapat terpenuhi? dan lain-lain yang intinya sudah pada praktek realita… bukan pada perasaan rindu atau deg-degan semata.
Lalu untuk apa semua perasaan rindu yang timbul banyak sekali di masa pacaran? Jika dalam kenyataannya, jodoh pasti disatukan dan hidup berdampingan selamanya… selamanya hingga mungkin kita bosan.
Jatuh hati, kerinduan, dan sebagainya adalah hal yang sangat menyita energi dan waktu. Padahal setelah menikah, cinta adalah pembuktian, bukan sekedar perasaan saja. Seseorang yang memikirkan orang yang disukainya hingga bertahun-tahun hanya akan mendapatkan tumpukan kerinduan yang memuncak, yang mana kerinduan itu tidak benar-benar berguna setelah pernikahan… tidak bisa dimakan, tidak bisa dibuat belanja, tidak bisa untuk bayar sekolah, bahkan tidak berbentuk dan tidak bisa dilihat.
Padahal jodoh pun masih samar, belum tahu apakah orang yg dirindukan begitu dalam adalah jodoh yang sudah Allah tuliskan. Bagaimana jika ternyata bukan? maka semua kerinduan yang menyita hidup itu, akan menjadi sebuah kesia-sian bukan?
Berbeda dengan seseorang yang tidak ingin memikirkan perasaan terlalu dalam sebab kesadarannya akan takdir Allah. Seseorang yang fokus mengejar mimpi dan citanya… hingga mampu meraih sesuatu. Seseorang yang mengabaikan hatinya sementara… demi meraih bukti nyata, kesuksesan, untuk diberikan kepada jodoh terindahnya. Bukankah itu lebih baik? Ketika kesuksesan itu adalah bukti nyata dari cinta… yang terwujud dalam hal yang bermanfaat.
Lalu kita ingin menjadi yang seperti apa? Ya, aku sadar menerapkannya tidak semudah memahaminya. Namun hidup adalah pilihan. Cinta selalu ada dalam setiap manusia… hanya saja bentuknya yang berbeda. Itu adalah pilihan kita, ingin membentuknya menjadi tumpukan kerinduan yang bahkan tidak bisa dilihat, atau membentuknya menjadi sebuah kesuksesan yang bisa bermanfaat dalam kehidupan setelah pernikahan… sebab hidup tidak bisa diulang.
Namun saat aku mencoba menyelami sudut pandang islam.. ada pembernotakan dari hatiku. Islam melarang berpacaran, dan dengan lingkungan hidupku ini, apakah mungkin? Pacaran adalah hal sangat biasa, bahkan bagi sebagian orang menjadi seperti kewajiban… Aku pun ingin walau aku belum berpacaran, sisi keremajaanku memberontak kesal karna aturan islam yang terlalu berlebihan bagiku pada awalnya. Tapi dibalik pemberontakan itu, aku menyadari sesuatu… perbedaan, bahwa yang memberontak adalah nafsuku, sementara suara hatiku, membenarkannya… suara hatiku hanya merasa kecewa karna ingin merasakan cinta namun sadar belum waktunya, namun nafsuku berontak karna ingin mengikuti perkembangan zaman…
Disaat sadar, aku mencoba sebisa mungkin menjaga diriku untuk tidak berpacaran, kenapa? pada umumnya pacaran akan menimbulkan kerinduan, kerinduan itu membuat masing-masing ingin bertemu… Terjadilah sebuah pertemuan. Saat seseorang yang disukai ada disamping kita, ingin rasanya berdekatan… ingin menunjukan kepada dunia bahwa dia adalah milik kita, hingga akhirnya saling menggenggam tangan… untuk menunjukan rasa saling cinta dan memiliki satu sama lain.
Bergandengan tangan lama-lama terasa kurang dekat dan kurang cukup, hati terasa ingin mendekap erat tubuhnya, hingga akhirnya berpelukan… Hari ke hari, berpelukan membuat nya ingin merasakan lebih, hingga akhirnya berciuman… hati masih merasa kurang cukup, merasa ada yang kurang lengkap, hingga akhirnya terjadilah hubungan intim… lalu apakah itu bisa disebut keinginan 'hati'? atau keinginan 'nafsu'? mungkin ini pikiran yang terlalu jauh namun bukankah segalanya bermula dari hal kecil dan sederhana? seperti sederhananya sebuah komitmen untuk mengikat hubungan pacaran...
Aku mulai mencoba memahami bahwa larangan islam tentang tidak diperbolehkannya lawan jenis saling bersentuhan adalah benar. Dulu aku beranggapan islam itu ‘lebay’, sebab perempuan dan laki-laki yang bukan mukhrim akan berdosa jika bersentuhan. Namun setelah ku pertimbangkan lagi, hal yang luar biasa terjadi dari hal biasa… Hal besar bermula dari hal kecil… Hubungan ''terlarang'' sebelum pernikahan pun juga bermula dari sentuhan sederhana… maka sejak saat itu, aku memahami betapa luar biasanya tujuan islam dalam setiap aturan yang diciptakannya.
Lagipula cinta yang selalu dibanggakan oleh remaja, itu sebenarnya cinta yang seperti apa? kerinduan kerinduan yang menyita waktu.. apakah semua ada artinya? Sebab dalam kenyataannya, aku melihat bahwa tidak semua rumah tangga akan seromantis masa pacarannya… Bahkan tidak sedikit yang bercerai atau selingkuh, padahal dulunya bilang berjuta cinta. Lalu apa artinya sebuah kenangan dan sebuah janji? Jika pada akhirnya, seorang ‘manusia’ mampu dengan mudah melupakan dan mengingkari…
Ada rumah tangga yang pernah mengatakan kepadaku bahwa ia bosan dengan pasangannya, hidup puluhan tahun dengan orang yang sama, sudah tidak ada lagi deg-degan seperti masa pacaran, tidak ada lagi kerinduan yang menggebu-gebu jika tidak bertemu… yang ada hanyalah, apakah uang cukup untuk makan esok hari? apakah anak sekolahnya benar? apakah rumah rapih dan bersih? apakah kebutuhan anak bisa tercukupi? apakah keinginan shopping nya dapat terpenuhi? dan lain-lain yang intinya sudah pada praktek realita… bukan pada perasaan rindu atau deg-degan semata.
Lalu untuk apa semua perasaan rindu yang timbul banyak sekali di masa pacaran? Jika dalam kenyataannya, jodoh pasti disatukan dan hidup berdampingan selamanya… selamanya hingga mungkin kita bosan.
Jatuh hati, kerinduan, dan sebagainya adalah hal yang sangat menyita energi dan waktu. Padahal setelah menikah, cinta adalah pembuktian, bukan sekedar perasaan saja. Seseorang yang memikirkan orang yang disukainya hingga bertahun-tahun hanya akan mendapatkan tumpukan kerinduan yang memuncak, yang mana kerinduan itu tidak benar-benar berguna setelah pernikahan… tidak bisa dimakan, tidak bisa dibuat belanja, tidak bisa untuk bayar sekolah, bahkan tidak berbentuk dan tidak bisa dilihat.
Padahal jodoh pun masih samar, belum tahu apakah orang yg dirindukan begitu dalam adalah jodoh yang sudah Allah tuliskan. Bagaimana jika ternyata bukan? maka semua kerinduan yang menyita hidup itu, akan menjadi sebuah kesia-sian bukan?
Berbeda dengan seseorang yang tidak ingin memikirkan perasaan terlalu dalam sebab kesadarannya akan takdir Allah. Seseorang yang fokus mengejar mimpi dan citanya… hingga mampu meraih sesuatu. Seseorang yang mengabaikan hatinya sementara… demi meraih bukti nyata, kesuksesan, untuk diberikan kepada jodoh terindahnya. Bukankah itu lebih baik? Ketika kesuksesan itu adalah bukti nyata dari cinta… yang terwujud dalam hal yang bermanfaat.
Lalu kita ingin menjadi yang seperti apa? Ya, aku sadar menerapkannya tidak semudah memahaminya. Namun hidup adalah pilihan. Cinta selalu ada dalam setiap manusia… hanya saja bentuknya yang berbeda. Itu adalah pilihan kita, ingin membentuknya menjadi tumpukan kerinduan yang bahkan tidak bisa dilihat, atau membentuknya menjadi sebuah kesuksesan yang bisa bermanfaat dalam kehidupan setelah pernikahan… sebab hidup tidak bisa diulang.