Pernikahan merupakan ikatan sakral yang menyatukan dua insan sejak dilaksanakannya akad. Lain halnya dengan berpacaran yang bisa putus-nyambung atau berganti-ganti sesuka hati, pernikahan adalah penetapan satu pilihan untuk selamanya. Oleh karena itu, pengambilan keputusan untuk menikah semestinya dilakukan dalam pertimbangan sematang mungkin. Bukan hanya mempertimbangkan kematangan rasa cinta yang menggebu-gebu, bukan hanya pertimbangan kebutuhan syahwat yang tak terkendali, bukan hanya kematangan financial yang dirasa telah cukup untuk menyelenggarakan resepsi, namun juga kematangan pengendalian emosional dan kematangan kepribadian yang sangat diperlukan dalam membangun rumah tangga yang kokoh agar tidak tersandung perceraian.
Lalu, bagaimana dengan pernikahan dini yang banyak pula dilakukan oleh remaja yang baru lulus SMA? Sebenarnya pernikahan dini bukanlah langkah yang bisa dikatakan salah atau terlarang, tapi jika kita masih punya kesempatan untuk mengukir pencapaian prestasi yang dapat membahagiakan orangtua kita terlebih dulu, mengapa harus memilih menikah cepat?
Pada umumnya, remaja cenderung memiliki pengendalian emosional yang belum cukup stabil. Emosional bukan berarti hanya emosi untuk marah-marah, tapi lebih tentang segala sesuatu yang melibatkan perasaan. Entah itu amarah, cinta, belas kasihan, kecemburuan, dan lain sebagainya. Dalam fase ini, seringkali remaja gegabah dalam pengambilan keputusan yang mengikuti gejolak emosionalnya. Kalau remaja yang pengendalian diri dan emosionalnya belum stabil itu sudah mengambil langkah menikah, maka besar kemungkinan pernikahan akan berjalan kurang baik, akan cenderung terjadi pertengkaran akibat ego yang masih tinggi dan pengendalian emosi yang belum matang.
Remaja, anggaplah baru lulus SMA, pikirannya belum cukup luas untuk memahami dunia rumah tangga yang sesungguhnya. Yang terfikir hanya cinta-cintaan kasmaran yang seakan selalu indah, romantisme, sayang-sayangan, kangen-kangenan, padahal rumah tangga tidak bisa berdiri kokoh hanya dengan itu dan isi dari rumah tangga tidak hanya sesederhana itu.
Lagipula apa yang sekiranya telah dimiliki oleh remaja lulusan SMA? Jikapun punya materi berlimpah, kemungkinan besar masih harta orangtuanya, jika memaksakan menikah hanya atas dasar cinta, merasa bisa dibiayai oleh harta orangtuanya, kemudian misalnya terjadi bencana yang membuat orangtuanya bangkrut, apa yang bisa dilakukan si anak...? Bisakah si anak langsung menghidupi rumah tangganya sendiri tanpa bantuan orangtua? Dampak kekacauan psikologis yang cukup besar bisa terjadi disini, ketidaksiapan yang harus dipaksa untuk tiba-tiba menjadi siap. Bagaimana jika sudah terlanjur memiliki anak? Maka akibat dari kurangnya kematangan dalam pernikahan akan membuat anak menjadi korban... dari mulai kekurangan asupan nutrisi, atau kekurangan kebutuhan yang layak.
Remaja yang ingin langsung menikah setelah lulus SMA memangnya telah yakin bahwa ia sudah membayar jerih payah orangtua yang menghidupinya sampai sebesar itu? Jika memberikan imbal balik pada orangtua pun belum, yakin tidak berat hati untuk langsung meninggalkan orangtua dengan pernikahan? Bagi perempuan... relakah langsung dibawa pergi suaminya sehingga secara tidak langsung orangtua hanya dijadikan seperti tempat ngempanin anak yang ketika anaknya tumbuh besar dan berkemungkinan produktif justru langsung diambil orang lain?
Buat laki-laki... Kalaupun sudah bisa kerja, yakinkah gajinya telah cukup untuk menikah? Menikah itu menjamin kebutuhan nafkah istri dan anak, bukan hanya tentang makan nya saja, tapi juga kebutuhan harian, pendidikan, serta kesehatannya. Bagaimana jika pendapatannya tidak mencukupi untuk memberikan kehidupan yang layak dikarenakan memaksa menikah terlalu dini? Istri dan anak yang jadi korban... Jikapun misalnya pendapatan telah cukup, bagaimana dengan orangtua? Orangtua telah menghidupi dengan jerih payah belasan tahun namun saat anaknya bisa bekerja justru seluruh pendapatannya teralokasikan ke rumah tangga anaknya semua? Bukan berarti orangtua harus dibayar atas penghidupan yang telah diberikan, namun setidaknya balas budi itu wajib dilakukan...
Berjuang mematangkan diri terlebih dulu demi orang-orang tercinta akan memberikan hasil akhir yang lebih baik... Perempuan, kejar pendidikan tinggi, penting demi bekal mendidik anak kelak, demi mendapat prospek pekerjaan yang berkualitas, demi membahagiakan orangtua dengan melihat anaknya sukses... Perempuan berpendidikan tinggi dan memiliki pekerjaan yang baik, kemungkinan besar akan dapat pasangan yang minimal setara juga dengannya, sebab jodoh itu cerminan diri... syukur-syukur bisa dapat atasannya :D hehehe. Tapi kalau hanya lulusan SMA, tidak pernah masuk kantor, lalu berharap dapet direktur (kayak di sinetron FTV), itu sih mimpi di siang bolong namanya... -___-
Bagi laki-laki, lebih wajib untuk perpendidikan tinggi. Agar pekerjaaan lebih terjamin, susun dan siapkan dulu kematangan pernikahan, kematangan untuk kehidupan anak dan istri nanti... Menikah itu menjamin kehidupan keluarga hingga "puluhan tahun" kedepan, bukan hanya tentang pesta resepesi.. tapi sebelumnya bahagiakan orangtua terlebih dulu. Percayalah cinta akan mengikuti seiring pencapaian kesuksesan. Orang yang berkualitas akan mendapatkan cinta yang berkelas. Fokus tingkatkan kualitas diri sendiri dulu…
Hidup hanya satu kali, pernikahan bukanlah seperti pesta ulang tahun yang bisa dirayakan tahunan, bukan seperti pesta ulang tahun yang jika tahun ini kurang dana untuk membuat acara istimewa maka tahun berikutnya bisa diulang dan dirayakan dengan lebih meriah, bukan... Yakin ga ingin membuat pernikahan menjadi moment yang "teristimewa" sekali seumur hidup?
Sekali mengambil langkah tidak akan bisa dimundurkan lagi. Kalau sudah terlanjur hamil lalu tiba-tiba ingin berkarir namun tidak diizinkan suami bagimana? Sekalipun misalnya suami mengizinkan, tapi mertua tidak mengizinkan, sementara suami harus lebih menuruti ibunya karena sampai kapanpun anak laki-laki akan jadi milik ibunya, jika melawan berarti durhaka,, dan istri harus patuh sama suami karena perempuan akan sepenuhnya menjadi hak suami ketika sudah menikah, nah kalau sudah begini ujung-ujung nya istri harus nurut untuk tidak bekerja kan? Yang memang pingin jadi ibu rumah tangga sih akan fine-fine aja jiwanya, tapi yang ingin berkarir berkemungkinan besar akan stress karena pertentangan batin antara ingin mewujudkan mimpinya dalam berkarir tapi takut durhaka karena dilarang... Jadi mumpung masih muda, sebaiknya bebaskan diri untuk berkarya sebanyak-banyaknya dulu sebelum mengambil langkah besar seperti pernikahan...
Lagipula tenang saja, nanti kalau sudah menikah itu puluhan tahun sampai tua sampai bosen akan selalu bersama terus kok. Jadi ya jalainin aja semua sesuai waktunya... Masa muda, masih waktunya untuk mengejar pendidikan… Hampir setiap orang punya kesempatan untuk bisa menikah lho, tapi tidak semua orang punya kesempatan untuk berpendidikan dan berkarir… tidak semua orang punya kesempatan untuk membahagiakan orangtuanya dengan pencapaian prestasinya atau hasil kerjanya (karena keburu menikah)… ingin jadi yang berkesempatan atau yang kehilangan kesempatan?
Sebagai perumpamaan, pernah tidak merasakan ketika masih kecil ingin cepet-cepet sekolah? Ketika sudah masuk TK ingin cepet-cepet SD? Ketika jaman SD ingin cepet-cepet SMP? Lalu ketika SMP ingin cepet-cepet SMA? Ketika udah SMA, merasakan beban tugas yang semakin banyak, merasakan jadwal belajar yang semakin padat, merasakan seringnya tidur tengah malem karena full tugas, merasakan masalah-masalah hidup yang mulai complicated entah dalam pertemanan maupun percintaan, dan akhirnya terucap “enak ya pas dulu masih kecil… bisa tidur siang, main-main, dan kebahagiaannya bisa muncul sesederhana dari main gelembung balon atau main petak umpet”... PERNAH tidak mengalami hal demikian?
Apa maknanya? Ketika remaja ingin menikah dini karena menggebu dengan gejolak cintanya, besar pula kemungkinan bahwa setelah menikah akan keluar pemikiran “enak ya pas dulu masih belum nikah… bisa bebas main kemana aja, kalo ngambek sama pacar bisa ngilang sesuka hati (ga dosa), kalo bosen bisa minta putus (ga repot ke pengadilan), tapi sekarang kemana-mana harus ijin (jika sesuai prosedur agama)… ga bisa bebas buat hang out sama temen kapanpun”
Lagipula kasihan juga nanti kalau menikah dini lalu punya anak, kasian anaknya kalau ortunya belum siap untuk menjadi ortu. Memangnya rela kalau anak jadi boneka percobaan? Itu jiwa lho... pembentukan kepribadian yang luar biasa sulit. Kasian kalau gagal nanti anaknya jadi tidak berguna atau bandel. Pasangan usia muda biasanya lebih sering bertengkar karena pengendalian dirinya masih cenderung rendah, artinya anak akan "dipaksa" melihat pertengkaran sejak usia kecil, apa yang dilihat akan membentuk karakter si anak... disini, bukan hanya psikologis pasangan muda nya saja yang berpeluang berantakan, tapi juga psikologis anak...
Padahal waktu yang dikorbankan beberapa tahun di masa muda akan menentukan puluhan tahun jalan hidup di masa mendatang hingga tua. Kita mengukir masa tua kita. Jangan kemakan cinta buta, cinta juga harus pake akal sehat... #ngomongsamacermin
Penyesalan adalah siksaan berat. Nanti kalau sudah kepentok penyesalan itu akan bikin hati jadi sangat tidak nyaman. Sementara keputusan terlanjur tidak bisa dirubah. Kita wajib merencanakan ingin jadi apa takdir kita, walau ujungnya Allah yang menetukan, tapi kita tetap harus menyusun terlebih dulu dan berusaha. Jangan menyerah begitu saja… Jangan pasrah sama rasa cinta yang seakan mengendalikan segalannya… ukir perjalanan hidup seindah mungkin dulu, baru ciptakan kehidupan baru (pernikahan)…
Pada akhirnya, tulisan ini tidak berniat untuk menyalahkan pendapat-pendapat yang ingin menikah cepat, tulisan ini hanya ingin meminimalisir kemungkinan langkah ceroboh muda-mudi yang gegabah menikah dalam kepribadian yang belum matang sehingga diharapkan dapat memperkecil peluang perceraian dan atau kekacuan dalam perkembangan psikologis anak... demi kebaikan bersama :)
0 comments:
Post a Comment