tiwinisacha. Powered by Blogger.
RSS

Segitiga Matahari


Sinar mentari semakin terang menembus kaca jendela. Aku bergegas mengikat tali sepatu untuk berangkat ke sekolah. Pagi ini firasat terasa buruk sekali, entah mengapa. Setibanya di SMPN 174, aku berpapasan dengan tiga teman karibku di tangga menuju lantai tiga. "Haiii...!" ku sapa mereka dengan penuh semangat dan keceriaan. Mereka menatapku, namun diluar dugaan, seketika dibuang pandangannya dari wajahku dengan sinis, lalu berlalu pergi begitu saja, tanpa jawaban, tanpa senyuman balasan. Melihat perlakuan itu, aku baru teringat dengan permasalahan yang belum terselesaikan diantara kami, sebuah kesalahpahaman yang membuat semuanya menghilang dariku.
Hati termenung sambil tetap melangkah menuju kelas. Sebelum sempat membuka pintu, ku rasakan sesuatu muncul dengan gerakan yang tak wajar, terletak jauh di sebelah kananku. Kehangatan menyentuh kulit dan dengan cepat semakin bertambah panas, tak seperti biasanya. Ku palingkan wajah untuk melihat ke arah pintu pagar sekolah, ternyata diatasnya terbit sebuah matahari, bergerak dengan amat cepat, semakin meninggi hanya dalam hitungan detik. Ku picingkan mata yang semakin kesilauan saat dua matahari lainnya terbit menyusul matahari pertama, membentuk sebuah formasi segitiga...



Aku terkejut tak karuan, degup jantung berdetak semakin cepat, apa yang sedang terjadi? Apakah akan ada bencana besar? Pikiranku berkelana liar membayangkan hal-hal buruk. Teman-teman yang menyadari keanehan itu pun mulai berlarian keluar, menunjuk-nunjuk formasi segitiga matahari dengan teriakan histeris.
"Kiamat...! Kiamat...!" Teriak beberapa anak yang tak terkendali saat menyaksikan keanehan ini. Tangisan tersedu-sedu mulai terdengar dimana-mana, "Huhuhu... Maafin aku ya... Aku takut, aku banyak salah, aku minta maaf ya..."
Orang-orang sibuk saling bersalaman meminta maaf satu sama lain, sementara aku masih berdiri kaku di depan pintu kelas. "Mungkinkah ini benar-benar kiamat? Aku belum siap mati, apakah amalanku sudah cukup untuk membawaku ke surga? Aku belum minta maaf pada orangtua, aku masih kurang beribadah, bagaimana ini?" sesalku dalam hati. Bulu kudukku merinding membayangkan jika harus masuk neraka karena dosa-dosa. Angin kencang berhembus membuyarkan gelutan pikiranku. Teriakan histeris semakin menjadi-jadi.
Aku berlari turun dengan niat meninggalkan sekolah, ingin pulang ke rumah. Sebelum sempat menuruni tangga terakhir, tiga teman karibku menghampiriku dengan air mata yang sudah berlinangan. Kami saling berpelukan, mereka meminta maaf atas sikapnya tadi pagi yang mengabaikanku. Dalam peluk itu terlintas bayangan kematian, terlintas bahwa ini adalah pelukan dan pertemuan terakhir sebelum bencana besar menghabisi nyawa kami semua. Ketakutan dan kesedihan akan kehilangan membuat air mata ku akhirnya menetes jua.
010684200_1424233469-3_matahari
Setelah itu aku berpamitan pulang, disepanjang perjalanan ku lihat orang-orang membawa beberapa barang-barang mereka dan pergi dengan kendaraannya. Entah mau bersembunyi dimana, toh jika memang kiamat maka pada akhirnya semua akan musnah pula kan? pikirku sambil tetap melangkah menuju rumah dengan peuh kebimbangan dan kegelisahan.
Sesampainya dirumah, aku memeluk kedua orangtua dan adikku yang masih berlindung disana. "Bagaimana ini pak? Kita akan segera mati? Kita harus meng-amal-kan apa lagi supaya bisa masuk surga?" tanyaku yang  mulai sesenggukan terbawa perasaan. Ayah terdiam sejenak sambil menatap langit yang masih dihiasi tiga matahari. "Kalau kiamat, sudah percuma," jawab ayah singkat.
Aku membuka pintu rumah, terlihat warga berlari kesana-sini saling memberi barang berharga mereka untuk di-amal-kan, namun tak ada yang menerima sebab setiap orang saling mau memberi. Walaupun beberapa diantaranya juga ada yang menyelamatkan barang berharganya dan mendekapnya erat-erat. Lingkungan menjadi kacau balau, pakaian, TV, kulkas, handphone, perhiasan emas, berhamburan berantakan dimana-mana.
Aku masih tidak mengerti dan tidak percaya, "Ini tidak mungkin kiamat," batinku. Ku tatap lagi langit dengan segitiga mataharinya, "Mengapa bisa ada tiga matahari? Bukankah katanya kiamat itu ketika matahari terbit dari barat? Kenapa tiga matahari itu membentuk segitiga? Ini bukan kiamat, pasti bukan." pikirku yang masih kebingungan dan berusaha meyakinkan diri bahwa ini bukan kiamat.
sun-dogs_jpg
Tiba-tiba langit mulai gelap di sebagian sisi, angin kencang dan petir menyambar. Orang-orang semakin tak terkendali. Walau sebagian langit menjadi gelap namun tiga matahari itu tetap terlihat di sebagian sisi yang lain. Beberapa orang pingsan, sementara yang lainnya berteriak dan menangis semakin menjadi-jadi. Telingaku pengang dengan keributan ini, perasaan semakin tak karuan. Keringat dingin membasahi tanganku, nafas tersenggal-senggal seakan habis berlari jauh, dada sesak dikarenakan ketakutan yang semakin memuncak. Kepalaku berputar pening, mata mulai samar-samar... hingga akhirnya aku terbangun dari mimpi buruk itu.
Ya, mimpi buruk itu terjadi di sekitar awal kelas dua SMP. Dan belakangan ini aku baru mengetahui bahwa ternyata memang benar ada fenomena tiga matahari di dalam kenyataan. Fenomena ini juga dikenal dengan istilah Sundogs. Namun yang terjadi dalam kenyataan bukanlah tiga matahari sungguhan, hanya semacam bias dari matahari utama yang sebenarnya. Matahari yang sesungguhnya hanya terletak di tengah, sementara bias nya terletak di kiri dan kanan.
sundogssouth72
Fenomena tiga matahari ini juga berbentuk horizontal, tidak membentuk formasi segitiga seperti yang terlihat jelas di mimpi itu. Terlebih lagi, tiga matahari di mimpi benar-benar berbentuk lingkaran semua, sedangkan fenomena tiga matahari dalam dunia nyata tidak membentuk lingkaran pada dua bias matahari di kiri dan kanannya. Hanya semacam cahaya yang ikut mendampingi cahaya matahari utamanya.
tumblr_nhw0amtt4A1s1vn29o2_1280

0 comments:

Post a Comment